Ketika badan terasa capek, pasti kita berharap langsung tidur.
Sayangnya, tak semua orang bisa langsung lelap semudah itu. Bagi mereka,
obat tidur tampaknya sebanding dengan istirahat malam. Namun,
waspadalah karena penelitian mengaitkan bahaya konsumsi obat tidur dalam
jangka panjang.
Obat tidur ternyata tidak sekadar membuat tidur nyenyak. Penelitian dr
Genevieve Belleville dari Kanada menunjukkan, mereka yang terbiasa
menenggak obat tidur tiga tablet atau lebih memiliki risiko kematian
lebih cepat dibanding orang yang tidak minum obat tidur. Dampak lain
dari penggunaan obat tidur adalah gangguan kesehatan kronis, seperti
kecanduan alkohol atau rokok, serta kemungkinan menyebabkan depresi.
Efek samping dari obat tidur ini menarik perhatian para peneliti
mengingat banyak obat tidur yang dijual bebas. Di Inggris, diperkirakan
10 juta obat tidur diresepkan setiap tahunnya. Pil-pil tidur yang bisa
dijual bebas itu biasanya mengandung antihistamin yang tinggi, seperti
yang biasa diresepkan dokter, misalnya Valium.
Kasus ini dirasa krusial. Oleh karena itu, peneliti tidak membedakan
antara para pengguna obat tidur skala berat dan mereka yang sesekali
menggunakannya. "Obat-obatan ini bukan permen dan bisa membawa mereka
dalam bahaya," kata Belleville.
Berdasarkan penelitian selama 12 tahun dan menganalisis lebih dari
12.000 data di Kanada, dr Belleville menyatakan bahwa tingkat kematian
signifikan serta lebih tinggi bagi pengguna pil tidur dan mereka yang
mengonsumsi obat untuk mengurangi kecemasan.
Setelah memperhitungkan kadar alkohol dan tembakau terhadap kesehatan
fisik, aktivitas fisik, dan depresi, dr Belleville menemukan bahwa obat
tidur yang ada dapat meningkatkan 36 persen risiko kematian. "Mereka
juga lebih rentan terkena setiap jenis penyakit yang berasal dari
parasit hingga kanker," kata dr Belleville.
Temuan lain dari efek samping obat tidur ini juga tidak bisa dianggap
enteng. "Obat tidur dan obat anti-kecemasan berpengaruh pada waktu
reaksi dan koordinasi sehingga membuat seseorang lebih mudah jatuh dan
kecelakaan," katanya.
Bagi mereka yang bermasalah dengan jantung, Belleville menemukan bahwa
obat tidur bisa menekan sistem pernapasan yang akan memperburuk masalah
pernapasan saat tidur. "Obat-obatan ini juga bekerja pada sistem saraf
pusat sehingga memengaruhi penilaian dan suasana hati. Ada bahaya obat
ini meningkatkan risiko bunuh diri," ujarnya.
Ia mengatakan, terapi perilaku kognitif telah menunjukkan hasil yang
baik dalam mengobati insomnia dan kegelisahan. Oleh karena itu, dokter
bisa mendiskusikan terapi sistematis tersebut dengan pasien mereka
sebagai pilihan. "Menggabungkan pendekatan farmakologis dalam jangka
pendek dengan pengobatan psikologis adalah strategi yang menjanjikan
untuk mengurangi kecemasan dan mempromosikan tidur," kata dr Belleville.
Kendati demikian, penelitian tersebut mendapat kritik. Profesor Jim
Horne dari Universitas Loughborough menyebutkan, penelitian itu masih
perlu dikaji lebih lanjut. "Perlu dipertanyakan juga reaksi apa yang
terjadi apabila orang-orang tersebut tidak menggunakan obat tidur,"
katanya.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Psychiatry, Kanada, ini
bersumber dari Survei Kesehatan Nasional Kanada. Pesertanya meliputi
orang-orang yang berusia 18 hingga 102 tahun dan disurvei setiap dua
tahun antara tahun 1994 dan 2007.
Sumber: DechaCare.com